Sabtu, 04 Maret 2017

[REVIEW] Déessert - Elsa Puspita

Diposting oleh My Booklicious di 06.17



Judul: Déessert
Penulis: Elsa Puspita
Penyunting: Dila Maretihaqsari
Perancang Sampul: Nocturvis
Pemeriksa Aksara: Septi Ws dan Kiki Riskita
Penata Aksara: Nuruzzaman
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Maret, 2016
Tebal Buku: 318 halaman
ISBN: 978-602-291-121-0

BLURB

Bagi sebagian orang, cinta SMA hanyalah salah satu kenangan masa remaja yang mudah saja untuk dilupakan. Namun, bagaimana jika ia kembali hadir di masa kini? Sosoknya yang sekarang jauh berbeda dibandingkan dulu. Ia lebih tampan, lebih berkarisma, dan lebih berpotensi kembali mencuri hati.

Naya begitu kaget melihat Dewa kembali ke Tanah Air, setelah selama delapan tahun sekolah dan bekerja di Australia. Karena campur tangan Lulu, sahabat sekaligus partner bisnis Naya, pria itu kini membantu mengurusi calon resto baru Naya dan Lulu, sebagai pastry chef. Namun, semuanya jadi tidak mudah. Di tengah kesibukan jelang pembukaan Dapoer Ketje, keduanya justru melancarkan aksi perang dingin dengan ego masing-masing.
 
Suasana makin parah degan kehadiran Ava, mantan kekasih Dewa yang datang dari Australia. Juga Dipati, mantan Naya yang seorang artis. Perang dingin di antara mereka tampaknya akan meledak, memuntahkan segala ganjalan yang telah tersimpan selama bertahun-tahun. Sesuatu yang menyadarkan mereka bahwa masa lalu itu belum selesai sepenuhnya.

*** 


“Sebelum masalah di antara mereka selesai sepenuhnya, batu besar dan dinding pembatas itu tidak akan hilang.” (hal. 160)


Naya berpacaran dengan Dewa. Tapi, itu dulu, saat mereka masih SMA. Hubungan mereka sebenarnya masih berlanjut hingga Dewa memutuskan untuk kuliah di Sydney. Namun sepertinya, peri LDR belum berpihak pada mereka. Terhambatnya komunikasi menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada kandasnya hubungan dua sejoli itu. Hingga tahun demi tahun berlalu, keduanya tak saling berkomunikasi dan sibuk dengan hidupnya masing masing.

Naya memutuskan untuk merantau ke Jakarta setelah tamat kuliah. Ia kemudian bekerja sebagai presenter acara kuliner dan akhirya menjalin hubungan dengan Dipati, salah satu aktor yang sedang naik daun. Namun, repotnya menjadi pasangan public figure membuat Naya kapok. Kisah keduanya pun berakhir. Saat program acara kuliner yang dibawakannya berakhir, rasa bosan dan penat membuat Naya kembali ke tanah kelahirannya, Palembang.

Keberuntungan sedang berpihak pada Naya. Saat mengetahui kepulangannya, Lulu—sahabatnya—mengajak untuk bekerja sama mendirikan sebuah restoran. Naya yang memang menyukai bidang kuliner, menyetujui hal itu. Kemudian Naya, Lulu, dan Arfan—pacar Lulu—mulai sibuk membangun calon resto mereka. Memilih tempat, menyusun menu, juga merekrut karyawan. Sayangnya, Arfan yang juga merupakan head chef belum menemukan pastry chef yang cocok untuk resto mereka. Hingga akhirnya kabar itu datang: Dewa akan pulang dari Sydney.

Bagi sebagian orang, berada satu tempat kerja dengan mantan mungkin bukan hal buruk. Tapi itu tidak berlaku bagi Naya. Luka masa lalu masih membuatnya marah Dewa. Bahkan pertemuan mereka di Dapoer Ketje—nama resto Naya dan Lulu—cukup mengagetkan. Pertemuan pertama setelah bertahun-tahun berpisah. Saat itu, Naya memberikan bogem mentah pada rahang Dewa. Beruntungnya, Dewa masih sanggup menahan emosi. Karena urusan pekerjaan di Dapoer Ketje memang tidak bisa ditinggalkan, dan demi agar situasi tetap aman, akhirnya mereka hanya bisa saling menghindar sambil mengurusi urusan masing-masing.

Namun, sebisa apa pun mereka menghindar, ada saatnya mereka harus berduaan, seperti saat Lulu dan Arfan sibuk fitting baju atau saat Lulu ikut menjemput orang tua Arfan. Dua kali diantar pulang oleh Dewa membuat Naya menjadi lebih kalem. Suasana tegang diantara Naya dan Dewa pun berkurang. Sayangnya, itu belum membuat keduanya menjadi terbuka dan membicarakan masalah di masa lalu mereka. Kesalahpahaman masih terus berlanjut. Belum lagi, kedatangan Dipati ke Dapoer Ketje ternyata membuat Dewa merasa ‘panas’, hingga Naya dan Dewa pun kembali bersitegang. Bahkan Ava, mantan Dewa, juga datang dari Sydney sambil membawa ‘senjata rahasia’ yang semakin menjauhkan Naya dari Dewa. 

Kalau sudah begitu, apakah Naya dan Dewa akan mampu berdamai dan menyelesaikan kesalahpahaman itu? Saat Ava menunjukkan sesuatu yang membuat Dewa terlihat buruk di hadapan Naya, akankah Dewa menyerah atau tetap berjuang mendapatkan Naya kembali?



“... cuma kamu yang bisa aku bayangin sebagai orang pertama yang aku lihat pas bangun pagi, dan orang terakhir yang aku lihat sebelum aku tidur tiap malam. ...” (hal. 285)
 

*** 

Déessert menjadi novel YummyLit Series kedua yang kubaca setelah Heartwarming Chocolate. Dan dari lubuk hati terdalam, aku mengatakan CINTA pada novel ini. Jika Heartwarming Chocolate meramu kisah dengan lembut, maka ini adalah kebalikannya. Kisah Naya dan Dewa yang memang menguras emosi diwujudkan dalam cerita yang juga meledak-ledak dengan perwujudan emosi yang tidak ditahan-tahan.

Ide cerita tentang kisah masa lalu yang belum usai memang sudah banyak di angkat. Tapi itu tidak membuat cerita Naya dan Dewa ini jadi membosankan. Kak Elsa meramunya dengan baik, hingga dari bahan dasar biasa mampu menjadi ‘hidangan’ yang istimewa. Gaya berceritanya mengalir, kalimatnya lugas, dan tidak berbelit-belit. Belum lagi, makanan-makanan yang dibuat Dewa tidak hanya menjadi tempelan yang diberi detail penjelasan, tetapi juga menjadi bagian yang menyatu dengan kisah Naya dan Dewa.

Sebagai opening, Kak Elsa menceritakan Naya dan Dewa yang ‘jadian’ pada tahun 2004. Kemudian cerita meloncat pada sepuluh tahun kemudian, saat Naya sudah bekerja di Jakarta, hingga pulang ke Palembang di tahun yang sama. Dan di tahun itu pula, Dewa pulang dari Sydney. Kemudian latar waktu tetap pada tahun yang sama hingga cerita mencapai bab terakhir. Keping-keping kisah saat Naya dan Dewa masih pacaran tersebar dalam beberapa bagian dan disajikan dalam bentuk kilas balik. Sedangkan untuk bagian closing, digunakan latar Palembang setahun kemudian. Sayangnya, untuk bagian penulisan tahun itu terdapat kesalahan penulisan, yaitu “Jakarta, 2004” (hal. 4) dan “Sydney, 2004” (hal. 16). Jika yang dimaksud adalah sepuluh tahundari masa SMA mereka, maka seharusnya itu adalah tahun 2014. Tapi selain itu, semuanya sudah rapi.

 Penggunaan sudut pandang orang ketiga juga membuat cerita ini seimbang. Tidak fokus pada Naya saja atau pun Dewa saja. Kak Elsa memberikan porsi yang seimbang baik dari segi dialog maupun narasi. Emosi yang disampaikan juga berimbang, tidak berat di salah satu. Aku sebagai pembaca dibuat gemas berkali-kali mengetahui bagaimana keras kepalanya dua tokoh utama novel ini. Ada kalanya kesal pada Naya, ada pula saat untuk kesal pada Dewa.

Karakter tokoh-tokohnya juga mendukung. Dewa yang lebih cenderung pendiam, dingin, dan cuek berbanding terbalik dengan Naya yang lebih lepas meluapkan emosinya, entah saat sedih atau pun marah. Kehadiran Lulu juga sangat membantu, apalagi Lulu sendiri adalah kakak kandung Dewa. Sosok Lulu adalah sahabat yang menyenangkan. Sebagai kakaknya Dewa sekaligus sahabat Naya, Lulu menjadi sosok idaman dengan sifatnya yang cenderung netral. Tidak memihak Dewa, tidak juga memihak Naya. Lulu adalah pemberi saran yang baik, namun bukan pemaksa. Sosok Damar—kakak Naya—juga baik. Sebagai wali Naya, Damar merupakan kakak idaman yang siap berdiri paling depan untuk melindungi adiknya. Dipati juga sebenarnya sosok yang baik, hanya saja kemunculannya tidak sebanyak dan semenyebalkan Ava. Bagiku, Ava adalah nenek sihir yang egois dan tidak mau kalah. Kemunculannya benar-benar membawa bencana. Terima kasih pada Kak Elsa yang telah membuatku ingin menggiling Ava dalam mesin cotton candy. *ini efek kelewat benci*

Secara keseluruhan, novel ini dua jempol banget. Cara bercerita dan emosi yang tersampaikan membuat lebih dari 300-an halaman ini tidak sia-sia untuk dibaca. Aku banyak belajar hal penting tentang menguatkan dan melapangkan hati untuk memberi dan menerima penjelasan orang lain demi menyelesaikan masalah, selalu mengambil keputusan dengan kepala dingin, dan tahu waktunya kapan harus ngotot berjuang dan kapan harus pasrah. Dan yang paling penting, selalu percaya pada hati kecil, karena hati tahu apa yang diinginkan.

Seperti tagline-nya, ‘hatiku dan hatimu, tahu apa yang dipilihnya’.
 
PS: 

Setelah membaca novel ini, pembaca akan tahu mengapa judulnya Déessert, bukan Dessert. Artinya sama nggak, sih? Cari tahu sendiri, ya... 
 
  



 

My Booklicious Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea